Adha Lap 2025
(1) Di lapangan;
(2) Jalan berangkat harus berbeda dengan jalan pulang;
Termotivasi oleh kedua sunnah di atas, pagi ini aku melaksanakan “Adha Lap 2025”.
Persegi panjang merah adalah lapangan tempat diselenggarakannya Shalat Ied. Lingkaran kuning adalah lokasi masjid-masjid yang menjadi panitia pada penyelenggaraan Shalat Ied di lapangan tersebut. Nurul Haq dicetak tebal, sebagai pemimpin kepanitiaan Shalat Ied Idul Adha tahun ini. Garis merah adalah perjalanan jalan kakiku : jalan berangkat harus berbeda dengan jalan pulang, terbagi menjadi lima etape.
Aku mulai berangkat setelah Shalat Subuh. Di etape pertama, agak horor. Karena beberapa minggu yang lalu, aku melihat anjing lepas berkeliaran di daerah sini. Khususnya di daerah yang jauh dari permukiman penduduk.
Sejak awal perjalanan, ku langsung tancap gas jalan cepat, berusaha secepat mungkin “keluar” dari zona merah ini, sambil melihat-lihat ke arah depan di kejauhan, apakah ada anjing di depan sana.
Tiba-tiba, dari arah semak-semak di bagian kiri tepi jalan, muncul sesosok makhluk berkaki empat, menyergap, berlari cepat, langsung masuk ke arah jalanan, maju terus ke depan sejauh beberapa meter, lalu menepi lagi ke arah kiri, dan menghilang.
Ah.
Ternyata kucing.
Aku berhasil melewati zona merah. Mulai masuk ke wilayah permukiman. Jalan terus ke depan, suasana perlahan-lahan berubah. Mulai dari tanah lapang dan semak-semak tak bertuan, lalu menjadi pedesaan, hingga akhirnya menjadi pusat kota yang penuh bangunan bertingkat, cafe, minimarket, sekolah, dan bangunan industri.
Tiba-tiba, muncul masalah kedua.
Gerimis.
Hujan memang sudah turun sejak tadi malam. Awan gelap masih menyelimuti sekitar 60% dari keseluruhan ruang langit. Sementara itu, 40% sisanya di ufuk timur sudah tampak cerah. Sayangnya, posisi lapangan itu berada di sebelah barat, yang kini dipenuhi oleh awan hitam.
Saat itu, aku sudah ada di penghujung akhir etape pertama. Gerimis semakin melebat. Sementara itu, di depan sana, terlihat sebuah Masjid. Para panitia sedang mempersiapkan shaf outdoor dengan menutup jalan.
Terdapat dua pilihan. Menyerah saja, lalu Shalat Ied di dalam Masjid ini saja. Atau lanjut terus ke lapangan.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 06.00. Menurut jadwal, Shalat Ied di lapangan akan dimulai pada 06.30. Tapi, bagaimana jika gerimis ini berubah menjadi hujan lebat?
Di benakku, aku mulai melakukan kalkulasi kasar. Berapa waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke lapangan? Andaikan sesampainya disana, tiba-tiba hujan lebat, lalu Shalat Iednya batal, apakah aku masih punya cukup waktu untuk kembali ke masjid di depanku ini?
Gerimis semakin lebat. Aku sudah setengah menyerah, sambil berdiri tepat di depan pagar depan Masjid.
…
Lanjut terus!
Ku tempuh etape kedua sambil berbasah-basahan diterpa gerimis. Di sini, aku juga menemukan sebuah masjid kecil di pelosok gang, sudah mulai dipenuhi oleh jamaah. Tetapi, aku tetap maju terus.
Akhirnya. Sampai juga ke garis finish.
Hmm..
Tidak ada jamaahnya..
Hanya ada panitia berkalung nametag, yang sedang sibuk menggelar terpal.
Hmm..
Bagaimana kalau nanti tidak ada jamaah yang datang?
Bagaimana para calon jamaah itu memilih untuk tidak mau berangkat ke lapangan, karena tadi malam hujan dan pagi ini gerimis?
Bagaimana jika hujan deras itu tiba-tiba datang saat para panitia masih sibuk menggelar terpal?
Hmm..
Wait and see dari kejauhan.
Andaikan hujan deras turun dan Shalat Iednya batal, aku tinggal mengikuti kemana arah pergerakan panitia selanjutnya. Mereka pasti beramai-ramai akan berteduh di masjidnya masing-masing, dan melakukan Shalat Ied di situ. Meskipun aku tidak tahu secara pasti dimana masjidnya itu, aku cukup mengikuti mereka saja.
Tiba-tiba, sang jamaah pertama datang dan mulai menggelar sajadahnya, tepat di depan mimbar khatib. Aku pun bergegas maju ke depan, untuk mengambil posisi tepat di sebelah kanannya.
Awan hitam pun perlahan menghilang. Langit tiba-tiba tampak cerah.
Tiba-tiba, lapangan itu langsung penuh sesak dengan para jamaah. Jumlahnya kurang lebih sama dengan jumlah jamaah pada Shalat Idulfitri beberapa bulan yang lalu.
06.30, Shalat Ied dimulai secara tepat waktu.
Etape 3, pulang.
Pada “Fitri Lap 2025” beberapa bulan yang lalu, etape 3 ini sebenarnya jauh lebih panjang.
Berdasarkan pengalamanku menjalani Fitri Lap 2025, aku sengaja memendekkan etape 3 pada Adha Lap tahun ini, untuk kemudian memutar ke kiri pakai jalan lain.
Mengapa rutenya aku ganti?
Pertama, aku kira dengan rute baru ini, jarak tempuhku bisa jauh dipangkas. (Ternyata tidak! Sama saja, 4,6 km! Aku baru menghitung dan membandingkan jaraknya malam ini, ternyata jaraknya sama saja.)
Kedua, aku ingin menghindari “zona merah” di Etape 4 Fitri Lap 2025. Ya, lagi-lagi, di situ rawan anjing lepas.
Etape 4 Adha Lap 2025. Aman, nyaman, tenteram. Di sebelah kiri jalan, tampak masjid besar yang begitu megah. Meskipun lokasinya sangat berdekatan dengan lapangan yang barusan, ternyata DKM-nya memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam penyelenggaraan Shalat Ied di lapangan.
Kondisinya berbeda sekali dengan keempat masjid yang menyatukan diri untuk menyelenggarakan Shalat Ied di lapangan. Keempat masjid tersebut berukuran relatif kecil, tersembunyi jauh di pelosok dalam area perumahan. Kalaupun dipaksakan shalat di masjid mereka masing-masing, mungkin shafnya juga agak berantakan, karena jalanan di depan masjid tersebut cukup kecil dan berliku-liku. Menyatukan diri, membentuk kepanitiaan bersama untuk mengadakan Shalat Ied berskala kolosal pada satu-satunya lapangan terbuka yang ada se-perumahan ini merupakan keputusan yang tepat. Aku pun, sebagai jamaah yang sengaja datang jauh-jauh demi memenuhi sunnah shalat di lapangan pun merasa terbantu.
Pada ujung akhir Etape 4, aku melewati rumah sepupuku. Dari kejauhan, aku pun melihat mereka berdua baru saja pulang Shalat Ied, datang dari arah yang berlawanan. Mereka berduanya tampak sedikit bingung, mengapa aku jauh-jauh ada disini pagi ini.
Pada etape 5, aku melintasi sebuah jalanan yang masih penuh dengan garis-garis shaf. Namun, jamaahnya sudah tidak ada. Mereka memulai Shalat Ied pada 06.00, tentunya mereka bubar lebih cepat ketimbang aku yang baru mulai pada 06.30.
Pada tikungan ~90 derajat terakhir di etape 5, suasana kembali menegang. Lagi-lagi, di daerah sini adalah daerah zona merah tempat berkeliarannya anjing lepas. Aku berjalan sambil meningkatkan kewaspadaan, sama seperti yang ku lakukan saat melintasi etape pertama pagi-pagi buta.
Fyuh. Selamat. Anjingnya sedang tidak ada pada pagi ini.
Akhirnya, finish!
Epilog : Behind The Scene
Rute perjalanan dibuat menggunakan brouter, yang kemudian nantinya di-export ke dalam format .GPX untuk dibuka di QGIS. Tata letak teks dibuat menggunakan Inkscape.
